Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 1 sampai 5

Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 1 sampai 5

Surat pertama dalam Al-qur’an adalah Surat Al-faatihah artinya adalah “Pembuka”. Surat Al-fatihah diturunkan di Mekkah. Surat ini terdiri dari 7 ayat. Para ahli tafsir (mufassir) meriwayatkan adanya beberapa nama bagi surat al-Faatihah. Di antara nama-nama yang termasyhur adalah: Ummul Kitab, Ummul Qur'an, as-Sab'ul Matsani, al-Asas, dan Faatihatul Kitab. Kandungan al-Qur'an secara umum tersimpul makna dalam surat al-Faatihah karena Kandungannya mencakup masalah-masalah: tauhid (pengesaan Tuhan), wa'ad (janji pahala) dan wa'id (ancaman siksa).


Adapun tafsir surat Al-fatihah secara umum adalah sebagai berikut:

Ayat yang pertama adalah بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ yang maknanya sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya tentang tafsir Basmalah.


الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(Segala puji kepunyaan Allah, Tuhan semesta alam).

Puji dan syukur hanyalah milik Allah. Tuhan yang memiliki langit dan bumi serta segala isinya, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Allah berhak menerima puji dan syukur itu, karena Dialah yang mencurahkan segala nikmat kepada makhluk-Nya.

Hamdu, adalah menyanjung seseorang karena perbuatannya yang baik yang dilakukan atas kemauan sendiri. Perbuatan itu diberikan kepada yang memuji maupun yang tidak memuji-Nya. Inilah pujian yang dimaksud oleh frase segala puji kepunyaan Allah dalam ayat ini. Memuji harta kekayaan, kecantikan seseorang atau keindahan bunga, misalnya, tidak termasuk dalam makna pujian dalam ayat ini. Untuk memuji keindahan dan kecantikan, dalam bahasa Arab dipergunakan kata: madah dan tsanaa ".

Syukr, ialah mengakui keutamaan seseorang atas sesuatu nikmat yang diterimanya. Baik pengakuan itu diucapkan dalam hati, diungkapkan secara lisan, maupun dengan cara lain. Tuhan menjadikan puji sebagai puncak syukur. Anjuran bersyukur dengan ucapan, mengingat menyebut nikmat dan menyanjung orang lain yang memberikan nikmat dengan lisan menjadikan nikmat itu populer di kalangan khalayak ramai. Selain itu menjadikan orang yang menerima nikmat sebagai suri teladan (qudwah) dan akan diteladani oleh orang lain.


Berbeda dengan syukur yang diungkapkan secara lisan, bersyukur dengan hati tersembunyi, tidak ada yang mengetahui. Demikian pula bersyukur dengan anggota badan yang lain, tidak memberikan kejelasan, apakah yang dilakukan itu sebagai tanda bersyukur atau tidak. Syukur dengan ucapan sangat jelas dan orang lain dapat memahaminya.

Rabbi yang akar katanya rabb berarti pendidikan (tarbiyah). Dalam ayat ini rabb bermakna pendidik (murabbin) ", pemelihara. Yakni: pendidik, pembimbing. dan penuntun bagi orang-orang yang dididik, pengendali, pengurus serta penyelesai semua keperluan orang yang dididik. Selain itu, kata rabb juga berarti: yang memiliki, yang ditaati, atau yang mengadakan perbaikan. Allah SWT. mendidik manusia dengan dua jalan:

Didikan Penciptaan (Tarbiyah Khalqiyah). Yaitu mencipta, memelihara, menumbuhkan, dan menyuburkan tubuh. Bayi secara berangsur-angsur tumbuh menjadi orang dewasa yang bertubuh tegap dan kuat. Dengan berangsur-angsur, kekuatan jiwa dan akalnya tumbuh berkembang.

Didikan Keagamaan (Tarbiyah diniyah tahzibiyah). Yaitu, Allah mewahyukan syariat kepada rasul untuk selanjutnya disampaikan kepada manusia guna menyempurnakan akal dan menjernihkan jiwanya.Al-' aalamiin (Semesta alam). Yang dimaksud dengan alam adalah segala yang ada. Orang Arab mempergunakan kata alam untuk jenis-jenis makhluk yang memiliki keistimewaan dan sifat yang mirip dengan jenis makhluk yang berakal. Oleh karena itu, mereka menyebutkan alam insan, alam hewan, dan alam tumbuh-tumbuhan (nabat). Sebab, dalam alam-alam tersebut tampak sekali pengertian pendidikan. Padanyalah tampak adanya: hidup, makan, dan beranak (melahirkan). Mereka tidak mengatakan alam batu, alam abu, dan sebagainya, karena pada benda-benda itu tidak jelas ada kehidupan.

Penegasan bahwa Tuhan mendidik dan memimpin segala alam untuk menyatakan bahwa Tuhan yang dimaksud bukan Tuhan suatu umat atau suatu golongan, tetapi Tuhan seluruh manusia, yang mendidik dan memelihara mereka dengan rezeki yang diberikan dan syariat-syariat yang diturunkan.
Ringkasan pengertian ayat Alhamdu lillaahi rabbil ' aalamiin ini adalah: semua puji yang indah hanyalah kepunyaan Allah semesta, karena Dialah sumber segala alam. Dialah yang mengendalikan, mendidik, dan mengasuh alam ini sejak awal sampai akhir. Dia pulalah yang mengilhami seseorang untuk berbuat baik dan kebaikan. Hanya untuk-Nya segala puji dan syukur.


الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
(Yang Maha Pemurah lagi Maha penyayang (senantiasa mencurahkan rahmat-Nya).

Tuhan yang memiliki sifat rahmat dan melimpahkan rahmat-Nya, serta yang berbuat baik kepada semua makhluk-Nya tanpa batas. Sebagaimana telah dijelaskan, ar-Rahmaan, adalah sifat khusus bagi Allah, tidak boleh digunakan untuk selain Dia. Adapun ar-Rahiim menyatakan bahwa Tuhanlah yang tetap bersifat rahmat, yang dari rahmat-Nya lahir kebajikan bagi manusia.

Tuhan menyebut ayat ar-Rahmaanir rahiim (yang Maha Pemurah lagi Maha Kekal rahmat-Nya) sesudah kalimat rabbil ' aalamiin (Tuhan semesta alam) adalah, untuk menegaskan bahwa pemeliharaan, pendidikan, dan pengasuhan Allah itu berdasarkan rahmat dan kemurahan-Nya, bukan berdasarkan pemaksaan. Maksudnya agar manusia mengerjakan amal perbuatan yang diridhai Allah dengan jiwa tenang, dada yang lapang, dan hati yang teguh (mantap).

Siksa (penderitaan) di dunia, demikian pula azab pedih di akhirat nanti, yang ditimpakan kepada mereka yang melanggar hukum yang telah digariskan dan yang merusak peraturan agama, sebenarnya merupakan paksaan secara lahiriah, tetapi secara batin adalah rahmat.


Sebab, maksud siksa-siksa tersebut adalah sebagai pendidikan dan pengajaran agar manusia tidak berani melakukan pelanggaran yang mengakibatkan mereka akan binasa.

Tegasnya, Tuhan menyiksa hamba-Nya untuk mencegah mereka terjerumus ke dalam jurang kerusakan. Tidak ubahnya seperti seorang guru atau pendidik yang memukul muridnya yang nakal, dengan maksud untuk menghilangkan kenakalannya.

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
(Yang memiliki hari pembalasan).

Tuhan yang memiliki atau memerintah hari perhitungan (hisab) amal perbuatan manusia dan memberikan imbalan kepada mereka menurut kadar (bobot) amal masing-masing.
Maaliki, dipanjangkan mim (m) nya, berarti: yang memiliki. Jika mim-nya tidak dipanjangkan, maliki, berarti: yang memerintah. Rujukan kedua bacaan itu bisa diperoleh dari al-Qur'an sendiri. Memerintah dan memiliki mengandung makna yang berbeda.

Pendapat yang menyamakan pengertian antara memerintah dan memiliki adalah keliru. Penyamaan makna antara keduanya, mungkin karena tidak melihat filsafat bahasa. Sebagian ulama berpendapat, sebaiknya maliki dibaca dengan memendekkan mim agar bermakna memerintah.

Sebab, arti " yang memerintah mengandung makna yang lebih dalam (baligh) dan lebih agung. Makna ini memberi tekanan bahwa Allah sendirilah yang mengendalikan makhluk Nya yang berakal dengan cara memerintah, melarang, dan memberikan imbalan dan pahala. Sekalipun begitu, ada pula sebagian ulama yang yang berpendapat, sebaiknya maliki dibaca dengan memanjangkan mim agar berarti " yang memiliki. " Sebab bagi mereka, " yang memiliki " mengandung makna yang lebih dalam dan agung.

Ad-diin, berarti perkiraan atau perhitungan ; memberi seimbang ; dan pembalasan. Makna yang terakhir yang sesuai dengan rangkaian ayat ini. " Tuhan berfirman " yang memerintah hari pembalasan " (penyelesaian segala perkara), bukan yang memerintah pembalasan ", maksudnya untuk menumbuhkan keyakinan pada tiap muslim tentang adanya suatu hari, di mana pada hari itu setiap orang yang mematuhi agama akan menerima imbalan atas kepatuhannya.

Manusia sesungguhnya telah memperoleh balasan atas perbuatan / amalnya di dunia, seperti kemiskinan dan kemadharatan sebagai balasan terhadap kelengahan dalam menjalankan hak dan kewajiban. Balasan di dunia ini tampak jelas pada sebagian manusia, tetapi tidak jelas pada sebagian yang lain. Sering terjadi orang yang berbuat maksiat, mengumbar syahwat dan menghabiskan umurnya untuk meneguk kenikmatan duniawi tanpa batas, tidak terlepas dari tertimpa bencana.

Harta kekayaannya ludes, anggota keluarganya tertimpa penyakit dan sebagainya. Tetapi bencana-bencana itu sering tidak dilihat sebagai pembalasan terhadap maksiat yang mereka perbuat.

Sebaliknya, manusia yang berbuat baik seperti tidak memperoleh apa-apa. Pada hakikatnya mereka tetap memperoleh balasan berupa kebahagiaan batinia ketenteraman hidup, kejernihan pikir, rasa senang, kesejahteraan fisik dan akhlak mulia. Namun demikian, harus diyakini bahwa balasan-balasan di dunia itu bukan semua balasan yang seharusnya diterima. Balasan yang sempurna (sesungguhnya) akan diperoleh pada hari pembalasan kelak. Pada hari itulah, setiap orang akan menerima pembalasan yang setimpal sesuai dengan amalnya semasa masih hidup di dunia.

Pembalasan yang diperoleh umat manusia di dunia adalah nyata. Umat umat yang berpaling dari jalan yang lurus, tidak memperhatikan sunnah Allah, akan ditimpa bencana, yang memang seharusnya mereka terima, yaitu kepapaan, kelemahan, kerendahan, walaupun dulunya mereka kuat, disegani dan dihormati.

Tuhan menyebut Maaliki yaumid diin sesudah ar-Rahmaanir rahiim, untuk menunjukkan bahwa manusia tidak saja harus mengharap, tetapi juga takut. Selain itu untuk menyatakan bahwa Tuhan tidak saja memberi dan melimpahkan rahmat-Nya, tetapi juga mendidik hamba-Nya dengan dihukum, sebagai balasan atas perbuatan buruk mereka.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
(Hanya Engkau yang kami sembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan).

Hanya kepada Engkau, ya Allah, jiwa kami tunduk. Sebab, jiwa kami merasakan kebesaran-Mu dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan.

Ibadat adalah kepatuhan yang timbul dari jiwa yang menyadari keagungan yang diibadati (Ma'bud, Tuhan), karena mempercayai kekuasaan-Nya yang hakikatnya tidak dapat diketahui, dijangkau, dan diliput oleh akal pikiran manusia. Orang yang mengabdikan dirinya kepada seorang penguasa tidak bisa disebut pengabdi (' abid), karena yang menjadi penyebab pengabdiannya bisa diketahui. Misalnya takut kepada kekejaman si penguasa jika dia tidak mengabdi atau karena mengharapkan imbalan.

Ibadat berbeda-beda dan beraneka ragam bentuknya, menurut agama dan masa. Semuanya disyariatkan untuk mengingatkan manusia kepada kekuasaan yang Maha Sempurna, Maha Tinggi dan untuk memperbaiki akhlak dan menjernihkan batin. Oleh karenanya, jika hal itu tidak diperoleh dari ibadat yang dijalankan, maka yakinilah bahwa ibadat itu bukan yang disyariatkan agama. Salah satu unsur perbuatan ibadat adalah shalat.

Tuhan memerintah kita mendirikan shalat dan melaksanakannya dengan sempurna, yang bekasnya bisa menjauhkan kita dari berbuat jahat lahir dan batin. Apabila shalat yang dikerjakan tidak membuahkan bekas (dampak) pada diri kita, maka shalat itu hanya merupakan gerakan dan ucapan yang tidak bernilai apa-apa atau kosong dari jiwa dan rahasia ibadat. Shalat yang dijalankan tidak mempunyai kesempurnaan dan keindahan. "

Isti'anah, adalah memohon pertolongan dan bantuan untuk menyempurnakan sesuatu amal yang tidak sanggup diselesaikan sendiri.

Dengan ayat ini Allah memerintah kita hanya menyembah Allah semata, tidak boleh menyembah selain Dia. Karena Allah sendirilah yang memiliki kekuasaan, maka tidak selayaknya kita mempersekutukan-Nya dengan siapa pun dalam peribadatan. Janganlah kita mengagungkan sesuatu atau seseorang seperti kita mengagungkan Allah. Dan Allah juga memerintah kita untuk memohon pertolongan dan bantuan kepada-Nya. Tuhanlah yang dapat menyempurnakan amalan dan menyampaikan hasilnya dalam segala urusan sebagaimana yang diharapkan jika apa yang kita kerjakan tidak terselesaikan.

Jelasnya, hasil semua amalan tergantung pada sebab yang telah diikat dengan hasil (musabbab) oleh hikmah Ilahiyah. Sebab-sebab itu merupakan jalan yang mengantarkan kepada musabbab-musabbabnya. Di antara sebab-sebab itu termasuk hapusnya penghalang yang menurut dasarnya menghalangi hasil amal (musabbab) itu.

Dengan perantaraan ilmu dan ma'rifat, Tuhan memberikan kepada manusia kesanggupan untuk mengusahakan beberapa sebab dan menolak beberapa penghalang sesuai dengan kadar yang diberikannya. Dalam kadar inilah. kita diperintahkan bertolong-menolong dan saling membantu. "

Oleh karena itu kita perlu mengupayakan obat untuk orang sakit. Memproduksi peralatan perang untuk mengalahkan musuh. Memupuk, menyirami, dan menyiangi tanaman untuk memperbanyak hasil panen. Mengenai sebab-sebab yang ada di balik sebab sebab yang lahir, kita menyerahkannya kepada Allah dan memohon pertolongan Nya. Allah pun telah berjanji menerima permohonan itu. "
 
Oleh karenanya, orang yang meminta pertolongan kepada kuburan orang orang saleh (keramat) atau makam seseorang yang semasa hidupnya banyak ibadat, misalnya, meminta dipenuhi kebutuhannya, dimudahkan urusannya saat menghadapi kesulitan, meminta penyembuhan orang sakit, membinasakan musuh sekaligus penyebabnya, berarti telah sesat dan menyimpang dari syariat yang ditetapkan Allah. Orang tersebut telah mengerjakan kegiatan keberhalaan yang pernah berkembang luas dalam masyarakat sebelum Islam. Orang yang meminta pertolongan kepada selain Allah dengan cara-cara yang menurut agama tidak dijadikan sebagai sebab untuk memperoleh suatu tujuan, seperti orang meminta syafaat dan pertolongan kepada orang yang sudah meninggal, atau bergantung pada jimat-jimat dan khurafat-khurafat, dianggap telah mempersekutukan Allah. " Dia menjadi musyrik karena menaati selain Allah dan melanggar perintah-Nya. "

Tuhan memerintah kita untuk memohon pertolongan hanya kepada-Nya, dan dengan tegas melarang meminta pertolongan kepada selain Dia dalam hal-hal di luar sebab-sebab yang biasa. Ayat ini memberi pengertian bahwa kita diharuskan (diwajibkan) memohon pertolongan kepada Allah dalam melaksanakan sesuatu amal yang dapat kita lakukan sendiri.

Kesimpulan: ayat ini menjelaskan bahwa orang yang tidak mau berusaha berarti melanggar dasar fitrah dan menantang petunjuk syariat. Orang yang demikian tidak disebut orang yang bertawakal (mutawakkil). Ayat ini juga menunjukkan bahwa manusia, betapapun cerdik dan tajam pikirannya, dia tetap membutuhkan pertolongan dan rahmat Allah.

Memohon sambil berusaha, itulah sebenarnya pengertian " bertawakal kepada Allah. Memohon pertolongan seperti itulah yang termasuk kesempurnaan tauhid dan ibadat murni. Dengan memohon pertolongan seperti itu, manusia menjadi hamba Allah yang tunduk kepada-Nya dan menjadi orang mulia dalam pergaulan antarsesama. Dia tidak dipaksa oleh seseorang. Keinginannya terbebas dari pengaruh orang lain ataupun kaum perusak, dan merdekalah cita-citanya dari belenggu keadaan sekelilingnya.


Bersambung >>>>>>>>