Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perintah Makan Dalam Al-Qur'an

Menggapai Rezeki Yang Halal

Di dalam Al-Quran, Allah menjelaskan tentang peristiwa ketika nenek moyang kita Nabi Adam a.s. dan Hawa masih tinggal di surga, Allah berfiman kepada mereka, sesuai surat Al-Baqarah ayat yang ke-35 yaitu “Dan kami berfirman: Hai Adam, tinggallah engkau dan isterimu di surga dan makanlah dari situ sepuas-puasnya apa yang kamu sukai, tapi janganlah mendekati pohon ini, yang akan menyebabkan kamu menjadi orang-orang yang dzalim”. Firman yang sama diulangi lagi dalam surat Al-A'râf (7) ayat yang ke-19 yang bunyinya” Hai Adam, tinggallah engkau dan isterimu di surga dan makanlah kamu berdua apa yang kamu sukai, tetapi janganlah mendekati pohon ini, sebab nanti kamu termasuk orang-orang yang dzalim”.

Apabila kita mengkaji ayat ke-35 dari surat Al-Baqarah dan ayat yang ke-19 dari surat Al-‘Araf, lalu merenungkan dan menganalisa makna dan tujuannya. Maka timbul pertanyaan sebagaimana berikut ini:

Ketika Allah Swt. menciptakan dan menghidupkan Nabi Adam a.s. dan isterinya mereka berdua ditempatkan di dalam surga. Kemudian memerintahkan untuk makan dengan sepuas hatinya, apakah ini berarti bahwa untuk keberlangsungan hidup mereka berdua di surga mereka membutuhkan makan?

Perintah untuk makan makanan kepada Nabi Adam beserta isterinya pada saat mereka di surga itu, dan itu kemudian diulangi lagi berkali-kali di dalam Al-Qur'an. Kemuadian perintah itu juga dibebankan ketika mereka sudah tinggal di bumi. Dan perintah itu selanjutnya juga ditujukan kepada anak-cucunya.

Di dalam Al-Quran terdapat enam ayat perintah makan yang diikuti dengan perintah ber- ibadah kepada Allah. Ayat pertama adalah ayat yang ke-172 dari surat Al- Baqarah yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari yang baik segala yang Kami rezekikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika hanya Dia yang kamu sembah”.

Dan yang kedua ialah surat An-Nahl ayat yang ke-114 yaitu:

“Maka makanlah dari rezeki apa saja yang diberikan Allah kepadamu. Yang halal lagi baik, dan bersyukurlah atas karunia-Nya, kalau memang kepada-Nya kamu menyembah”.

Kedua ayat tersebut di atas (surat al-baqarah (2):172 dan surat an-nahl (16):114) yaitu memerintahkan makan, diikuti dengan anjuran bersyukur kepada Allah. Memang, bersyukur atas nikmat Allah merupakan salah satu bentuk ibadah seorang hamba kepada Tuhannya, yang bisa diperlihatkan dengan berbagai cara misalnya:
  • Mengucapkan "alhamdulillah" sambil mengakui dalam kalbu bahwa sumber rezeki itu berasal dari Allah.
  • Menggunakan rezeki itu di jalan Allah, antara lain dengan membagi- nya kepada sesama yang membutuhkan.
  • Tidak menghambur-hamburkan rezeki itu pada sesuatu yang sia-sia atau yang dilarang oleh agama.Untuk memperoleh makanan yang halal dan baik sebagaimana tersebut di atas, khususnya untuk makanan asal hewani, ada syarat- syarat tertentu yang harus dipenuhi sebagaimana tertulis dalam surat Al- An'am (6) yang ke-118 yang bunyinya “Makanlah (daging) apa yang ketika (disembelih) dengan mengucapkan nama Allah, jika kamu beriman kepada ayat-ayatnya”.
Dalam hal mengambil nyawa hewan untuk memperoleh bahan makanan daging, ada syarat-syarat tertentu yaitu harus disebut nama Allah misalnya "Bismillahi Allahu Akbar" disertai niat yang khidmat bahwa mematikan hewan itu semata-mata untuk dimakan dengan izin Allah, bukan untuk dianiaya. Demikianlah syarat untuk memperoleh makanan yang halal dan baik. Selanjutnya ayat di bawah ini mengisyaratkan sebagai berikut surat Al-Maidah (5) yang ke-88 yang bunyinya “Dan makanlah yang halal dan baik dari apa yang Allah rezekikan kepada kamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kepadaNya kamu beriman”.

Setelah kita menyantap makanan yang halal dan baik, hendaklah kita bertakwa yaitu:

  • Berpegang teguh pada ajaran agama.
  • Melakukan semua perintah Allah dengan ikhlas, misalnya berserah diri, beriman, mendirikan salat, berpuasa, bersedekah, berzakat dan berbuat kebajikan.
  • Menjauhi semua larangan-Nya.Salah satu tanda ketakwaan seseorang adalah ibadah puasa, yang mempunyai nilai kekhususan tersendiri, karena berpuasa adalah semata- mata bagi-Nya dan bersifat sangat pribadi yang hanya diketahui oleh sang pelaku dan Tuhannya. Sebelum berpuasa dianjurkan untuk makan sahur, sebagaimana tertulis dalam surat Al-Baqarah (2) yang ke-187 yang berbunyi: “Dan makanlah dan minumlah, hingga benang putih jelas perbedaannya bagi kamu dengan benang hitam, di waktu fajar. Kemudian cukupkanlah puasa kamu hingga malam tiba”.
Makan sahur dibatasi hingga waktu imsak, yaitu ketika kita dapat membedakan dengan jelas antara benang hitam dan putih atau sekitar 10 menit sebelum subuh. Kemudian puasa dimulai sejak imsak hingga permulaan malam tiba yaitu waktu magrib. Makan sahur itu agaknya merupakan cadangan energi untuk berpuasa selama kurang lebih 14 jam, untuk daerah tropis termasuk Indonesia. Ayat ke 6 yang memerintahkan makan dengan diikuti anjuran ber- ibadah kepada Allah tertulis dalam surat Al- A'raf (7) ayat yang ke-31 yang bunyinya: “Hai anak-anak Adam! Pakailah dari pakaianmu yang bagus pada saat memasuki setiap masjid Allah; makan dan minumlah, tetapi jangan terlalu berlebihan. Allah tidak menyukai orang yang berlebihan”.

Zinatun berarti perhiasan atau pakaian yang selain penutup aurat dan pelindung terhadap cuaca sekitar juga untuk keindahan hidup, mengandung arti tidak saja menambah keanggunan bagi si pemakai, tetapi juga keapikan dan kebersihan, Pakaian yang rapih dan bersih mencerminkan harga diri yang dengan penuh khidmat seseorang bisa menampilkan diri beribadah di masjid di hadapan Yang Mahakuasa; tetapi berpakaian secara berlebihan juga tidak dianjurkan. Demikian juga makanan harus secukupnya saja, halal, sehat dan seimbang serta tidak berlebihan.

Bila kita simak dengan seksama keenam ayat tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sesudah perintah makan, selalu diikuti dengan perintah beribadah kepada Allah Swt. Dua ayat pertama menyuruh bersyukur, satu ayat yaitu (5) ayat yang ke-88 memerintahkan bertakwa, (2) ayat yang ke-187 menganjurkan sahur sebelum puasa, (6) ayat yang ke-118 menyuruh makan bahan makanan hewani yang disembelih dengan menyebut nama Allah dan ayat (7) ayat yang ke-31 menganjurkan untuk berpakaian dan makan tidak berlebihan, sebelum beribadah.

Akhirnya esensi enam ayat tersebut di atas terangkum dalam surat Quraisy (106) ayat yang ke-3- 4 yang berbunyi: “Maka hendaklah mereka beribadah kepada Allah, yang memberi mereka makan, sehingga terthindar dari rasa lapar dan memberi keamanan dari segala macam ketakutan”.

Karena pada hakikatnya bersamaan dengan menciptakan makhluknya, maka Allah juga telah mencukupkan rezki kepada mereka berupa makanan. Sehingga dengan rizki tersebut manusia terhindar dari rasa lapar. Di samping dari pada itu juga manusia dianugerahkan perasaan aman dan tenteram. Maka seyogianya manusia beribadah kepada Allah yang telah memberikan rezki kepda-Nya. Demikianlah tugas manusia selaku hamba Allah. Kegiatan beribadah secara luas melibatkan aktivitas jasmani, nafsani dan rohani atau aktivitas fisik, mental dan spiritual, yang semuanya itu memerlukan energi. Dari mana kita memperoleh energi atau tenaga itu? Untuk itu Allah swt memerintahkan manusia untuk makan dan minum.

Sumber:

Buku Makanan Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Ilmu Gizi oleh Dr. Hj. Tien Ch. Tirtawinata Sp.GK.