Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pelajaran Penting Dari Karya Para Ulama

Pelajaran Penting Dari Karya Para Ulama

Ada banyak pelajaran yang berharga kita dapatkan kalau kita mengkaji Kitab-kitab yang ditulis oleh ulama Islam sepanjang Zaman. Di sini saya akan menyampaikan beberapa pelajaran berharga tentang Amanah Ilmiah yang dituliskan oleh para ulama. Sebuah karakter keilmuan yang mesti diterapkan demi kemajuan peradaban keilmuan dan pendidikan umat manusia. Termasuk standar metodologi penelitian yang saat ini berkiblat ke Barat sangat menekankan agar semua informasi dan data terverifikasi kebenaran dan sumber aslinya melalui amanah ilmiah ini.

Amanah ilmiah ini diuraikan dengan sangat baik oleh Dr. Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam permulaan kitab Kubrā Al-Yaqīniyyāt melalui kaidah singkat dan padat yang berbunyi:

إن كنت ناقلا فالصحة، وإن كنت مدّعيا فالدليل.
“Jika informasi yang kamu sampaikan itu adalah nukilan, pastikan keshahihannya! Jika itu berdasarkan dari klaim pribadi, tunjukkan bukti dan argumennya!”

Berikut sekelumit catatan berharga dari karya tulis para Ulama ternama dalam Islam.

Pelajaran dari Ibnu Al-Jauzi dan Kitab Al-Mawdhū’āt-nya

Selain terkenal sebagai ulama yang hebat di kalangan akademisi, Imam Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H) juga menjadi dai (Al-Wā’izh) primadona di kalangan masyarakat umum. Pengajiannya dihadiri ratusan bahkan ribuan orang. Maw’izhah-maw’izhah yang disampaikan memukau para hadirin, membuat air mata meleleh dan hati bergetar. Sehingga dakwahnya memiliki energi pengaruh yang sangat kuat.

Ibnu Al-Jauzi menyadari fitnah yang sering terjadi pada para penceramah. Dalam mencari konten, tak jarang para da’i terjebak membawakan kutipan atau kisah yang tidak berlandaskan kebenaran. Bahayanya, jika kebohongan itu dengan embel-embel nama Rasulullah SAW dengan membawakan hadits palsu (Mawdhū’). Untuk menjaga dirinya jatuh dalam fitnah berbahaya ini, beliau meneliti hadits-hadits yang seringkali dibawakan oleh para penceramah dan beredar di tengah masyarakat. Ternyata banyak kepalsuan dijumpainya, yang lalu dikumpulkan dalam kitab besarnya "Al-Mawdhū’āt", sebesar 3 jilid.

Kitab Al-Mawdhū’āt atau sejenisnya, dan metode kehati-hatian dakwah Ibnu Al-Jauzi ini amat sangat penting menjadi pegangan para da’i agar jangan sampai menyebarkan kepada masyarakat berita, hadits dan Israiliyat yang belum terbukti kebenarannya, yang dapat berpengaruh negatif pada tatanan sosial.

Pelajaran Anti-Kolusi dari Imam Abu Dawud dan Imam Ali bin Madini

Beginilah ilmu hadits! Tidak mengenal mujamalah (basa-basi dan kongkalikong), walaupun itu terhadap keluarga terdekat.

Imam Abu Dawud ketika ditanya tentang status putranya yang bernama Abdullah bin Abi Dawud, beliau mengatakan, “Kadzzāb (Abdullah adalah pembohong)”. Sehingga orang-orang men-dha’ifkan riwayat Ibnu Abi Dawud. Padahal setelah diteliti, status riwayat Ibnu Abi Dawud ini bukanlah dha’if, melainkan hasan. Tetapi mengapa sang ayah melemahkan status anaknya?

Beberapa ulama mentakwilkan, barangkali Imam Abu Dawud yang merupakan ulama bersifat wara’ mendha’ifkan Abdullah; karena putranya itu ingin mengambil jabatan sebagai Qadhi dan beliau tidak ingin seorang muhaddits senang pada jabatan.

Imam Ali bin Al-Madini, imam besar dalam al-Jarh Wa al-Ta’dil, guru dari Imam Al-Bukhari, ketika orang-orang menanyakannya tentang status riwayat ayahnya, beliau mengatakan:

إنه دين، أبي ضعيف.
“Karena yang kalian tanyakan adalah persoalan menyangkut agama, saya harus terus terang. Ayah saya dha’if.”

Jarh Wa Ta’dil Bukan Pekerjaan Sembarangan

Banyak Para ulama memperingatkan bahwa Jarh Wa Ta’dil itu bukan domain orang-orang biasa seperti kita. Yang bisa melakukannya hanyalah ulama-ulama tertentu yang sudah sampai pada martabatnya dan mencakupi syarat-syaratnya. Karena salah-salah men-Tajrih orang, Anda akan mendapat dosa atas pencemaran nama baik apabila ternyata hakikatnya berbeda, karena melanggar salah satu dari Maqashid Al-Syar’iyyah, Hifzhu Al-‘Irdh. Kalaupun itu benar, jika tidak sesuai dosis, anda bisa jatuh dalam dosa ghibah. Dilema bukan!?

Merekapun ulama Jarh Wa Ta’dil sebetulnya berat men-Tajrih sesamanya dan tak akan melakukannya kalau bukan karena darurat. Dan, Tajrih itu bukan berarti untuk menjelekkan secara personal, melainkan dalam status penerimaan riwayatnya. Ada salah seorang ulama Jarh Wa Ta’dil sambil menangis mengatakan, “Bisa jadi orang yang kita Tajrih yang sudah meninggal, telah mengikat tali untanya di surga. Sedangkan kita tak tau nasib kita.”

Ibnu Khirasy dan Amanah Ilmiah Para Muhaddits

Dari segi kecerdasan, kekuatan hafalan dan semangatnya dalam mencari hadits, Ibnu Khirasy (w. 283) adalah juara. Terkait semangat juang dan pengorbanannya berkenala mencari hadits dia pernah mengaku, “Aku meminum kencingku sebanyak lima kali dalam rihlah mencari hadits.” Itu ia lakukan karena kehabisan bekal dan berada di padang tandus. Tetapi apakah semangat juangnya itu cukup berharga mengundang simpati ulama menerima riwayatnya?

Nyatanya para kritikus hadits menolak hadits Ibnu Khirasy disebabkan kebid’ahan. "Kita berterimakasih atas usaha anda, tetapi maaf, Wahai Ibnu Khirasy. Anda adalah seorang Rafidhah, yang telah melanggar garis merah terkait kehormatan para sahabat. Termasuk pada sahabat terbaik Rasulullah SAW Sayidina Abu Bakr dan Sayidina Umar.” Oleh karena itu, Al-Dzahabi dalam Siyar A’lam-nya mengatakan, “Ilmu Ibnu Khirasy adalah bencana.”

Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Penghargaannya pada Al-Dzahabi

Al-Mūqizhah secara bahasa berarti, “yang membangunkan dari tidur, memfokuskan dari lamunan”. Dari judulnya, kitab ini melayangkan pesan, bahwa seseorang apabila ingin menjadi thalib hadits, dia haruslah Mutayaqqizh (fokus dan tanggap pada apa yang didengar dan dibaca). Al-Dzahabi menutup pembahasan kitabnya ini dengan pembahasan ke-24 “Al-Mu’talif wa Al-Mukhtalif”, juga untuk menyampaikan pesan penting akan pembahasan amat penting dalam Ilmu Musthalah yang sering disepelekan, “Apabila anda ingin mahir dalam ilmu hadits, anda harus mutayaqqizh (jeli) dalam menghafal dan mencermati nama-nama perawi.”

Dari sekian banyaknya karya fenomenal Al-Dzahabi, yang terbaik dari itu semua adalah Mīzān Al-I’tidāl. Karena dalam kitab tersebut ia mendhabitkan nama-nama dengan detail dan memberikan penilaian dengan timbangan terukur, yang menunjukkan kebolehan dan kepantasan Al-Dzahabi untuk menjadi ulama besar dalam Hadits.

Ibnu Hajar juga memiliki kemampuan serupa dalam hal kejelian menghafal nama dan memberikan penilaian. Pun Ibnu Hajar menyusun kitab serupa dengan pendahulunya, Al-Dzahabi. Lantas apa judul yang diberikan untuk kitabnya itu?

Judulnya adalah “Lisīn Al-Mīzān”. Judul yang dapat mensinyalir; bahwa kitabnya ini hanyalah kelanjutan proyek dari apa yang telah dilakukan Al-Dzahabi. Jadi, bisa jadi orang berkomentar, “Ah, bukan murni karya sendiri.” Padahal, Ibnu Hajar mengaku, “Jika aku mau, aku bisa menamakan kitabku ini tanpa mengaitkannya dengan kitab Al-Mīzān. Karena aku membangun sendiri kitab tersebut tanpa bergantung kepada milik Al-Dzahabi itu.”

Tetapi ini memberikan pelajaran berharga bagi kita generasi sesudahnya, tentang pentingnya menghargai karya ilmuan-ilmuan sebelum kita. Ini dilakukan oleh Ibnu Hajar sebelum adanya metodologi ilmiah seperti saat ini, yang dalam salah satu kerangkanya terdapat “Penelitian Sebelumnya (Al-Dirasat Al-Sabiqah)”, di mana dalam bab ini, penyusun harus jujur dengan amanah ilmiahnya menyampaikan penelitian-penelitian serupa dari ilmuan sebelumnya sebagaimana yang dia garap. Sehingga tidak mengklaim dirinyalah yang pertama mencetuskan penelitian tersebut.

Sikap Ibnu Hajar itu juga mengingatkan kaidah penting:

ابدأ من حيث ما انتهى فيه مَن قبلك
“Mulailah dari titik pemberhentian orang-orang sebelummu.”

Dari kaidah inilah, keilmuan dan peradaban terus terjadi perkembangan. Sayangnya dalam masyarakat kita, karena mental ingin memperebutkan eksistensi, seringkali ketika ingin menginisiasi sesuatu bukan melanjutkan perjuangan orang sebelumnya. Melainkan ingin membangun sendiri dan menginginkan proyek pendahulunya mati dan hilang jejak.