Keistimewaan Imam Adz-Dzahabi Dalam Bidang Hadits
Seorang Ulama yang Menyandang nama besar dalam kancah Ilmu Hadits pada Zamannya. Ketajaman hafalannya dibuat menjadi simbol utopis, sehingga Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani manakala meneguk air zam-zam berdoa “Ya Allah, dengan berkat air yang berkah ini, berikanlah aku kekuatan hafalan sekuat hafalan si Fulan.” Disematkan padanya gelar Al-Ruhlah, menyusul reputasi keilmuannya di seantero dunia kala itu membuat para pencari ilmu dari berbagai penjuru rela menempuh perjalanan panjang untuk menemui dan berguru kepadanya. Sebagai buah dari kegigihannya menuntut ilmu, menghafal Alquran dan menguasai ragam qiraatnya sejak usia belia, lalu menyisir keberadaan para ulama di tanah kelahirannya Bumi Syam, kemudian berkelana ke Kairo dan Alexandria di Mesir, Nablus di Palestina, Mekkah dan Madinah di Hijaz dan beberapa belahan dunia.
Muridnya Tajuddin Al-Subki dalam Thabaqat Al-Syafi’iyyah memberikan kesaksian: “Ada empat Hafiz terbesar di masa kami (abad ke-7) yang tidak ada limanya, yaitu Al-Mizzi, Al-Birzali, ayah saya Taqiyuddin Al-Subki dan guru kami Al-Dzahabi.” Imam Jalaluddin Al-Suyuthi menututkan: “Hirarki keilmuan hadits era mutakhir berpijak kepada empat imam: Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Iraqi dan Ibnu Hajar.”
Dialah “Sang Emas”. Nama lengkapnya Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaymaz Al-Dzahabi Al-Dimasyqi Al-Syafi’i. Akrab di kalangan para penuntut ilmu dengan nama Al-Dzahabi, sebab ayahnya berprofesi sebagai pandai emas. Juga memang sosok dan buah pemikiran cemerlangnya bagaikan emas permata bagi umat.
Ulama kelahiran Damaskus, 3 Rabiul Akhir 673 Hijriah itu kelasnya sulit tertandingi dalam ilmu hadits, dengan limpahan karyanya dalam bidang Tarajim, Rijal, Naqd, Jarh wa Ta’dil, Thabaqat dan beberapa disiplin ilmu lain. Sebut saja Siyar A’lam Al-Nubala yang apabila dipajang di rak buku sepanjang 2 meter akan menghabiskan space satu deretan sendiri. Tarikh Al-Islam Al-Kabir 21 Jilid, Tadzkirah al-Huffaz, Mizan al-I’tidal yang merupakan lanjutan proyek Ibnu Adi dalam Al-Dhuafa-nya, dan karya-karya lainnya yang berdasarkan data Prof. Bassyar Awwad Ma’ruf terhitung mencapai 214 karya.
Di balik ratusan karya itu, terbesit pertanyaan, apa sumbangan karya Al-Dzahabi dalam Ilmu Mustalah? Ada! Tetapi hanya kitab mungil, lebih tepat disebut Risalah. Judulnya Al-Muqizhah. Menurut Syekh Abdul Fattah Abu Guddah risalah ini adalah satu-satunya jejak Al-Dzahabi dalam Ilmu Mustalah.
Risalah ini merupakan ringkasan dari kitab ringkasan. Kitab berjudul Al-Iqtirah Fi Bayan Al-Istilah karya gurunya, Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id (625 H-702 H) adalah ringkasan dari Muqaddimah Ibnu Shalah. Lalu Al-Dzahbi meringkas kitab gurunya yang merupakan ulama besar hadits yang juga ahli fikih Madzhab Maliki dan Syafi’i sekaligus itu. Namun barangkali maklumat ini tidak disadari oleh pembaca budiman, sebab Al-Dzahabi dalam Al-Muqizahnya ini lebih suka menyebut gurunya itu dengan “Ibnu Wahb”. Jika tidak jeli, pembaca tidak “Ngeh” bahwa yang dimaksudkan adalah imam besar yang memiliki nama asli Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abu Al-Fath Muhammad bin Ali bin Wahb bin Muthi’ Al-Qusyairi Al-Manfaluthi Al-Sha’idi Al-Mishri. Lantas dijuluki Ibnu Daqiq Al-Id, karena dulu kakeknya memiliki kebiasan unik setiap kali tiba hari raya ‘Id. Beliau memakai penutup kepala (thaylasan), jubah dan setelan yang serba putih, seputih tepung. Sehingga masyarakat di Sha’id Mesir menjulukinya “Tepung di hari raya” (Daqiq Al-Id).
Sistematika kitab Al-Iqtirah terdiri dari 9 bab yang setiap babnya beranak pinak dalam beberapa sub-bab. Dahulu Imam Al-Hakim (w. 405 H) telah mengklasifikasikan ilmu hadits dalam Ma’rifat Ulum Al-Hadits pada 43 macam. Ibnu Shalah (w. 643 H) dalam Muqaddimahnya menambahkan menjadi 65 macam. Al-Bulqini dalam Mahasin Al-Istilah menambahkan jadi 70 macam. Nantinya Al-Suyuthi dalam Tadrib Al-Rawi menambahkan menjadi 93 macam. Bahkan menurut Al-Munawi, jika distatistikkan Nuzhatu Al-Nazhar milik Ibnu Hajar bisa diklasifikasikan mencapai 100 macam.
Al-Dzhabi yang tergolong ulama mutaakhir justru memangkas klasifikasi yang semestinya kian ditambah banyak itu menjadi hanya 24 macam. Naskah aslinya tipis. Manuskripnya yang ditemukan di Museum Kitab Nasional di Kota Paris dan Museum Kitab Zhahiriah di Damaskus hanya berjumlah 11 lembar atau 21 halaman. Kalau melihat cetakannya yang sekarang terbitan Maktabah Darus Salam tahkikan Abdul Fattah Abu Guddah (w. 1417 H) totalnya memuat 220 halaman. Memang agak tebel, karena diberikan banyak komentar berharga di footnote oleh Muhaqqiq. Pun 70 halaman berikutnya adalah tatimmah dari Muhaqqiq berisi lima permasalahan yang penting untuk diulas yang tidak tertampung oleh keterbatasan ruang foot-note: 1) persoalan Sunnah Taqririah; 2) Status 4 Hadits Musalsal; 3) Madzhab Imam Muslim dalam Hadits Mu’an’an dan siapakah sosok yang dia kritik dalam muqaddimahnya; 4) Apakah Al-Bukhari dan Muslim selalu mengharuskan yang paling tinggi derajat kesahihannya dalam hadits-hadits yang dicantumkan?; 5)Uraian tentang peliknya masalah pengkafiran dan penolakan riwayat Ahlu Bid’ah.
Namun semungilnya naskah asli risalah tersebut, menurut Abu Guddah, untuk membaca kitab-kitab besar Al-Dzahabi dalam Jarh Wa Ta’dil tidak lengkap apabila tidak diperkaya dengan poin-poin dasar yang disajikan dalam Al-Muqizah. Satu lembar saja yang berisi goresan pena Al-Dzahabi diakui oleh para ulama menyimpan mutiara faidah-faidah mahal dan konsep-konsep yang mungkin tidak ditemukan di referensi lain. Karena beliau tergolong sebagai imam yang ijtihad dan tahkikannya dalam keilmuan hadits cukup otoritatif, khususnya pada permasalahan-permasalahan yang polemis. Lihat misalnya pada Bab ke-23 Adabul Muhaddits, di situ beliau banyak menguraikan aspek-aspek yang sebenarnya njelimet menjadi simpel.
Sejatinya pendekatan yang Al-Dzahabi dalam mengerucutkan pembahasan Ilmu Mustalah -menurut Abu Guddah- membutuhkan penelitian lebih lanjut, apalagi sebagai ringkasan Al-Iqtirah sedikit banyak tidak mewakili teks aslinya, namun menurut pembelaan Al-Hafizh Burhanuddin Al-Biqa’i (w. 885 H) selaku penyalin risalah ini dengan tulisan tangannya: karena memang risalah ini adalah muqaddimah yang diperuntukkan untuk pelajar pemula (Mubtadi). Beliau ingin menyederhanakan kompleksnya pembahasan dan membuat pemula yang baru ingin memulai belajar jatuh cinta kepada ilmu ini. Cukuplah karya mungilnya ini akan merefleksikan bagaimana sebenarnya ilmu ini dan ke mana selanjutnya melangkah.
Muridnya Tajuddin Al-Subki dalam Thabaqat Al-Syafi’iyyah memberikan kesaksian: “Ada empat Hafiz terbesar di masa kami (abad ke-7) yang tidak ada limanya, yaitu Al-Mizzi, Al-Birzali, ayah saya Taqiyuddin Al-Subki dan guru kami Al-Dzahabi.” Imam Jalaluddin Al-Suyuthi menututkan: “Hirarki keilmuan hadits era mutakhir berpijak kepada empat imam: Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Iraqi dan Ibnu Hajar.”
Dialah “Sang Emas”. Nama lengkapnya Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaymaz Al-Dzahabi Al-Dimasyqi Al-Syafi’i. Akrab di kalangan para penuntut ilmu dengan nama Al-Dzahabi, sebab ayahnya berprofesi sebagai pandai emas. Juga memang sosok dan buah pemikiran cemerlangnya bagaikan emas permata bagi umat.
Ulama kelahiran Damaskus, 3 Rabiul Akhir 673 Hijriah itu kelasnya sulit tertandingi dalam ilmu hadits, dengan limpahan karyanya dalam bidang Tarajim, Rijal, Naqd, Jarh wa Ta’dil, Thabaqat dan beberapa disiplin ilmu lain. Sebut saja Siyar A’lam Al-Nubala yang apabila dipajang di rak buku sepanjang 2 meter akan menghabiskan space satu deretan sendiri. Tarikh Al-Islam Al-Kabir 21 Jilid, Tadzkirah al-Huffaz, Mizan al-I’tidal yang merupakan lanjutan proyek Ibnu Adi dalam Al-Dhuafa-nya, dan karya-karya lainnya yang berdasarkan data Prof. Bassyar Awwad Ma’ruf terhitung mencapai 214 karya.
Di balik ratusan karya itu, terbesit pertanyaan, apa sumbangan karya Al-Dzahabi dalam Ilmu Mustalah? Ada! Tetapi hanya kitab mungil, lebih tepat disebut Risalah. Judulnya Al-Muqizhah. Menurut Syekh Abdul Fattah Abu Guddah risalah ini adalah satu-satunya jejak Al-Dzahabi dalam Ilmu Mustalah.
Risalah ini merupakan ringkasan dari kitab ringkasan. Kitab berjudul Al-Iqtirah Fi Bayan Al-Istilah karya gurunya, Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id (625 H-702 H) adalah ringkasan dari Muqaddimah Ibnu Shalah. Lalu Al-Dzahbi meringkas kitab gurunya yang merupakan ulama besar hadits yang juga ahli fikih Madzhab Maliki dan Syafi’i sekaligus itu. Namun barangkali maklumat ini tidak disadari oleh pembaca budiman, sebab Al-Dzahabi dalam Al-Muqizahnya ini lebih suka menyebut gurunya itu dengan “Ibnu Wahb”. Jika tidak jeli, pembaca tidak “Ngeh” bahwa yang dimaksudkan adalah imam besar yang memiliki nama asli Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abu Al-Fath Muhammad bin Ali bin Wahb bin Muthi’ Al-Qusyairi Al-Manfaluthi Al-Sha’idi Al-Mishri. Lantas dijuluki Ibnu Daqiq Al-Id, karena dulu kakeknya memiliki kebiasan unik setiap kali tiba hari raya ‘Id. Beliau memakai penutup kepala (thaylasan), jubah dan setelan yang serba putih, seputih tepung. Sehingga masyarakat di Sha’id Mesir menjulukinya “Tepung di hari raya” (Daqiq Al-Id).
Sistematika kitab Al-Iqtirah terdiri dari 9 bab yang setiap babnya beranak pinak dalam beberapa sub-bab. Dahulu Imam Al-Hakim (w. 405 H) telah mengklasifikasikan ilmu hadits dalam Ma’rifat Ulum Al-Hadits pada 43 macam. Ibnu Shalah (w. 643 H) dalam Muqaddimahnya menambahkan menjadi 65 macam. Al-Bulqini dalam Mahasin Al-Istilah menambahkan jadi 70 macam. Nantinya Al-Suyuthi dalam Tadrib Al-Rawi menambahkan menjadi 93 macam. Bahkan menurut Al-Munawi, jika distatistikkan Nuzhatu Al-Nazhar milik Ibnu Hajar bisa diklasifikasikan mencapai 100 macam.
Al-Dzhabi yang tergolong ulama mutaakhir justru memangkas klasifikasi yang semestinya kian ditambah banyak itu menjadi hanya 24 macam. Naskah aslinya tipis. Manuskripnya yang ditemukan di Museum Kitab Nasional di Kota Paris dan Museum Kitab Zhahiriah di Damaskus hanya berjumlah 11 lembar atau 21 halaman. Kalau melihat cetakannya yang sekarang terbitan Maktabah Darus Salam tahkikan Abdul Fattah Abu Guddah (w. 1417 H) totalnya memuat 220 halaman. Memang agak tebel, karena diberikan banyak komentar berharga di footnote oleh Muhaqqiq. Pun 70 halaman berikutnya adalah tatimmah dari Muhaqqiq berisi lima permasalahan yang penting untuk diulas yang tidak tertampung oleh keterbatasan ruang foot-note: 1) persoalan Sunnah Taqririah; 2) Status 4 Hadits Musalsal; 3) Madzhab Imam Muslim dalam Hadits Mu’an’an dan siapakah sosok yang dia kritik dalam muqaddimahnya; 4) Apakah Al-Bukhari dan Muslim selalu mengharuskan yang paling tinggi derajat kesahihannya dalam hadits-hadits yang dicantumkan?; 5)Uraian tentang peliknya masalah pengkafiran dan penolakan riwayat Ahlu Bid’ah.
Namun semungilnya naskah asli risalah tersebut, menurut Abu Guddah, untuk membaca kitab-kitab besar Al-Dzahabi dalam Jarh Wa Ta’dil tidak lengkap apabila tidak diperkaya dengan poin-poin dasar yang disajikan dalam Al-Muqizah. Satu lembar saja yang berisi goresan pena Al-Dzahabi diakui oleh para ulama menyimpan mutiara faidah-faidah mahal dan konsep-konsep yang mungkin tidak ditemukan di referensi lain. Karena beliau tergolong sebagai imam yang ijtihad dan tahkikannya dalam keilmuan hadits cukup otoritatif, khususnya pada permasalahan-permasalahan yang polemis. Lihat misalnya pada Bab ke-23 Adabul Muhaddits, di situ beliau banyak menguraikan aspek-aspek yang sebenarnya njelimet menjadi simpel.
Sejatinya pendekatan yang Al-Dzahabi dalam mengerucutkan pembahasan Ilmu Mustalah -menurut Abu Guddah- membutuhkan penelitian lebih lanjut, apalagi sebagai ringkasan Al-Iqtirah sedikit banyak tidak mewakili teks aslinya, namun menurut pembelaan Al-Hafizh Burhanuddin Al-Biqa’i (w. 885 H) selaku penyalin risalah ini dengan tulisan tangannya: karena memang risalah ini adalah muqaddimah yang diperuntukkan untuk pelajar pemula (Mubtadi). Beliau ingin menyederhanakan kompleksnya pembahasan dan membuat pemula yang baru ingin memulai belajar jatuh cinta kepada ilmu ini. Cukuplah karya mungilnya ini akan merefleksikan bagaimana sebenarnya ilmu ini dan ke mana selanjutnya melangkah.