Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Orang Junub mandi di kamar mandi yang ada di dalam masjid, Bolehkah..???

Orang Junub mandi di kamar mandi yang ada di dalam masjid, Bolehkah..???

Bagi orang kota mungkin pertanyaan ini agak aneh. Akan tetapi kebanyakan diperkampungan kita masih menemukan banyak rumah yang tidak punya kamar mandi, mereka memanfaatkan kamar mandi yang ada di masjid untuk mandi.

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita simak kisah berkesan antara Imam Muhammad bin Hasan dan Imam Malik bin Anas berikut!

Imam Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (132-189 H), salah satu dari tiga murid terhebat Imam Abu Hanifah selain Qadhi Abu Yusuf dan Zufar bin Huzail. Mereka paling berjasa dalam menyebarkan Madzhab Hanafi.

Al-Syaibani memang tidak sempat lama berguru kepada Imam Abu Hanifah, sebab sang imam meninggal ketika ia masih muda belia. Ia mematangkan keilmuannya dengan belajar dari seniornya, Abu Yusuf. (Pada saatnya kemudian, setelah Abu Yusuf wafat, dialah yang diangkat oleh Khalifah Harun Al-Rasyid menduduki jabatan Qadhi agung Daulah Abbasiyah).

Sebagai santri didikan Madrasah Kufah, otomatis Al-Syaibani memiliki kecondongan fikih Ahlu al-Ra’yi (rasionalis). Di usia muda, ia sudah menjadi tokoh utama madrasah ini yang namanya tenar di mana-mana. Ketohonnya itu tidak membuatnya lantas memuaskan kehausannya akan ilmu. Ia ingin mendalami madrasah yang menjadi tandingan Ahlu Ra’yi, yaitu madrasah Ahlul Hadits.

Dengan semangat membara, jauh-jauh dari Iraq ia berkelana menuju Madinah untuk menemui Imam Malik bin Anas, ikon dari Madrasah Ahlul Hadits untuk berguru kepadanya.

Otoritas keilmuan Imam Malik tidak diragukan lagi. Apalagi dengan posisi strategisnya mengajar di pusat terbentuknya pelita Syariat Islam, madrasah tempat Nabi Muhammad -Shallallahu’alaihi wa sallam- mendidik para sahabatnya. Keahlian Imam Darul Hijrah ini dalam bidang fikih terbangun di atas pondasi kokoh, hafalan dan penalaran kuatnya akan hadits-hadits Rasulullah, serta fatwa sahabat dan fuqaha yang tinggal di Madinah. Semua itu ia tata rapih dalam mahakaryanya. Sebelum diterbitkan, Imam Malik telah berkeliling ke 70-an fuqaha Madinah untuk di-“fit and proper test” kan, mereka semua memberikan legalitas. Maka karyanya itu diberikan nama Al-Muwattha, secara bahasa berarti “yang sudah memperoleh legalitas.”

Melihat kehebatan Al-Muwattha, Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur pemimpin Khilafah Islam kala itu berniat menyeragamkan seluruh umat Islam dalam satu madzhab berdasarkan kitab ini. Agar tidak ada pertikaian pendapat. Namun dengan tawadhunya, Imam Malik menolak tender menggiurkan itu dan membiarkan lestarinya warisan ijtihad para fuqaha yang lain, tanpa mau memonopoli kebenaran.

Imam Malik begitu cinta kepada Kota Madinah dan penduduknya. Pernah beliau mengatakan, “Tiada seorangpun dari penduduk Madinah melainkan aku mengenalnya.” Tidak hanya mengenal nama, beliau juga tahu kualitas mereka. Ini penting untuk mengetahui mana yang layak diterima riwayatnya, mana yang tidak. Ini menggambarkan begitu dekatnya beliau dengan masyarakat. Selain memiliki majelis keilmuan yang ekslusif untuk kaum intelek, beliau juga membuka sesi fatwa buat masyarakat umum untuk bertanya soal-soal keagamaan.

Pernah suatu hari ketika membuka sesi fatwa, seseorang pemuda yang tidak ia kenal masuk dan meminta fatwa: “Bagaimana pendapat anda wahai Imam jika ada orang junub, tetapi tidak menjumpai air kecuali di dalam masjid?”

Imam Malik menjawab soal tersebut hanya dengan:
لا يدخل الجنبُ المسجدَ
“Orang junub tidak boleh masuk masjid!”

Memang demikianlah kutipan nash fikih. Apalagi menurut madzhab Hanafi, sekedar lewat saja tidak boleh bagi orang junub di masjid, apalagi untuk belama-lama, termasuk mandi.

Pemuda itu menegaskan pertanyaannya, “Bagaimana kalo sudah waktu shalat, terus tidak ada tempat lain untuk bersuci selain di dalam masjid?”

Imam Malik menegaskan jawaban yang sama:
لا يدخل الجنبُ المسجدَ
“Orang junub ga boleh masuk masjid!”

Sang pemuda terus memburu agar Imam Malik menguraikan jawaban dan memberikan solusi lain dari persoalan, sampai akhirnya Imam Malik berkata, “Kamu sendiri gimana pendapatmu soal ini?”

Pemuda itu menjawab, “Dia tayamum dulu di luar masjid agar boleh masuk masjid. Terus dia masuk ke masjid cuma buat mengambil air, terus mandi di luar masjid, baru dia boleh masuk masjid untuk shalat.”

Imam Malik menanyakan anak muda, “Dari mana asalmu?”. Dia menjawab:
من أهل هذه -وأشار إلى الأرض-
“Asal saya dari sini (menunjuk ke tanah).”

Imam Malik berkata, “Tidak mungkin kamu berasal dari sini. Tidak ada penduduk sini yang tidak saya kenal.”

Sang pemuda menanggapi datar, “Kalau demikian, berarti banyak penduduk sini yang tidak anda kenal.” Lantas ia bangkit dan pergi.

Orang-orang yang hadir di situ memberi tahu Imam Malik bahwa pemuda yang barusan bertanya tak lain dan tak bukan adalah Muhammad Bin Hasan, murid Imam Abu Hanifah.

Imam Malik tidak asing dengan nama Muhammad bin Hasan heran, jelas-jelas dia berasal dari Iraq bukan!?, “Jika benar dia Muhammad bin Hasan, kenapa dia berbohong?”

Hadirin menjawab, “Dia tadi mengatakan ‘berasal dari sini’, sambil menunjuk bumi. Bukan maksudnya dari Madinah sini.”

Begitulah kesan lucu pertama Muhammad bin Hasan mencandai imam besar di Madinah di tengah murid-muridnya. Selanjutnya ia menjadi murid setia yang mulazamah belajar kepada Imam Malik selama lebih tiga tahun.

Dari sekian banyak perawi Al-Muwatta, setidaknya ada lima riwayat yang paling terkenal dan muktamad, salah satunya adalah riwayat Muhammad bin Hasan Al-Syaibani.

Muhammad bin Hasan juga merupakan salah satu guru yang paling berpengaruh bagi imam madzhab kita, Imam Syafi’i ketika beliau berada di Bagdad. Banyak pujian Imam Syafi’i yang ditujukan kepada beliau, “Tidak pernah aku melihat seorang gemuk yang lebih cerdas daripada Muhammad bin Hasan.”

Dari kedua imam besar inilah (tentunya juga imam-imam yang lain) beliau meracik fikih madrasah Ahlul Hadits dan Ahlul Ra’yi menjadi madzhab yang moderat menengahi keduanya.