Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pemberian Hukuman Terhadap Anak Dalam Perspektif Pendidikan

Pemberian Hukuman Terhadap Anak Dalam Perspektif Pendidikan

Pada hakikatnya tujuan pemberian hukuman terhadap anak dalam pendidikan Islam adalah untuk memberikan bimbingan dan perbaikan bukan untuk pembalasan (dendam) atau untuk kepuasan hati si pemberi hukuman. Pemberian hukuman terhadap anakpun memerlukan berbagai macam pertimbangan, kajian dan tinjauan baik dari kajian Undang-Undang Perlindungan Anak, Pendidikan Islam, psikologis, sosiologis, filosofis dan lain sebagainya. Hal ini perlu dan sangat penting untuk dikaji kembali dengan tujuan agar hukuman dalam proses pendidikan benar-benar dilakukan dengan tepat dan tidak bertentangan dengan hakikat pemberian hukuman yang sebenarnya.

Pemberian hukuman pada peserta didik dalam proses pendidikan adalah suatu hal yang penting dan fundamental, hal ini dianggap penting dikarenakan bahwa pemberian hukuman adalah suatu hal yang menjadi “remote kontrol” bagi anak didik dalam bersikap dan bertingkah laku. Undang-undang pendidikan No 20 Tahun 2003 dan Undang-Undang Perlindungan Anak 23 tahun 2002 memang tidak membahas secara rinci tentang bagaimana proses pemberian hukuman terhadap anak itu dilaksanakan, akan tetapi dalam PP RI Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, dalam bab IV terdapat pembahasan tentang standar proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proses pendidikan.

“Perlindungan anak”[1] sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan tujuan dasar dari terbentuknya Undang-Undang Perlindungan Anak demi terbentuknya anak yang tumbuh dengan penuh cinta, kasih sayang, aman, sehat, cerdas dan tumbuh menjadi generasi kreatif yang mampu membangun agama dan bangsa ini ke depan. Kajian dasar dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah tentang terpenuhinya hak-hak anak secara fisik, mental, spiritual dan sosial[2] untuk hidup secara wajar, tumbuh dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.[3]

Pasal 13,Undang-Undang Perlindungan Anak, ayat (1) berbunyi, bahwa: “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
1) Diskriminasi,[4]
2) Eksploitasi,[5] baik ekonomi maupun seksual,
3) Penelantaran,[6]
4) Kekejaman,[7] kekerasan,[8] dan penganiayaan,
5) Ketidakadilan;[9] dan
6) Perlakuan salah lainnya.”[10]
Dalam ayat (2) berbunyi, bahwa; “Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.”[11]

Jika kita berbicara tentang anak, maka yang tergambar dalam fikiran penulis adalah anak secara umumnya, sebagaimana anak yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah setiap manusia yang belum berusia 18 tahun,[12] anak dalam hal ini adalah anak siapa pun, dimana pun dan dalam suasana yang bagaimana pun tetap dibahas dalam Undang-Undang Perlindungan Anak ini.

Di samping itu, menurut hemat penulis, jika Undang-Undang Perlindungan Anak memang benar-benar ingin memperhatikan tentang nasib seluruh anak di Indonesia ini, hal yang pertama sekali difokuskan oleh Undang-Undang Perlindungan Anak adalah tentang nasib-nasib anak-anak terlantar terlebih dahulu, mengapa? Karena menurut penulis anak-anak terlantar adalah anak yang paling rentan dan yang paling banyak mengalami hal-hal seperti yang sudah penulis sebutkan dalam pasal 13 Undang-Undang Perlindungan Anak di atas.

Kehadiran Undang-Undang Negara Republik Indonesia pasal 34 Tahun 1945, yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara,” jika benar-benar disosialisasikan dengan baik di negara kita ini, maka Undang-Undang Perlindungan Anak menurut penulis menjadi “mubazir” jika hanya sekedar menjadi isu hangat atau hanya sekedar ikut-ikutan mengesahkannya tanpa menyesuaikan dengan kondisi budaya dan tradisi bangsa kita.

Hal selanjutnya yang lebih mengherankan lagi bahwa, Undang-Undang Perlindungan Anak lebih banyak disosialisasikan pada lembaga-lembaga pendidikan dan menyoroti setiap pendidik yang melaksanakan berbagai macam metode dalam proses belajar mengajar, dari pada melihat nasib anak-anak fakir miskin yang tidak mendapatkan pendidikan atau mengumpulkan anak-anak terlantar dan memberi mereka pendidikan yang layak.

Penulis tidak menafikan bahwa adanya tindak pemberian hukuman yang berbentuk kekerasan di dalam proses belajar mengajar atau dalam proses interaksi edukatif antara pendidik dan anak didik di lembaga pendidikan, jika hal ini terjadi, maka solusi pertama adalah ada pada proses pembentukan awal para calon pendidik tentang pemahaman pendidikan Islam yang baik benar dan benar, solusi kedua baru dipertimbangkan sesuai dengan tujuan pendidikan yang tertera dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Contoh yang paling sederhana yang penulis angkat dalam tulisan ini adalah tentang hukuman. Terdapat 24 kata “Hukum,” 2 kata “Hukuman” dan terdapat 3 kata “Sanksi” di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Kata hukuman terdapat dalam Pasal 13 ayat (2) dan dalam Pasal 16 ayat (1),[13] hukuman yang dimaksudkan ini disini adalah hukuman tidak manusiawi yang disamakan dengan tindakan penganiayaan dan penyiksaan terhadap anak, hal ini tentu berbeda dengan hukuman yang dimaksudkan oleh pendidikan Islam, karena dalam proses belajar mengajar dalam sebuah lembaga pendidikan hukuman dipandang sebagai suatu metode atau strategi dalam mendidik yang memiliki aturan, syarat dan etika dalam proses pelaksanaannya. Yang ingin penulis tegaskan disini bahwa, hukuman dalam proses belajar mengajar (PBM) tidak selamanya bisa disamankan dengan hukuman sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

Disisi lain, setiap anak berhak mendapat pendidikan,[14] merupakan satu hal yang juga menjadi kajian dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Jika Undang-Undang Perlindungan Anak ternyata juga memandang perlunya pendidikan terhadap anak, maka seharusnya keberhasilan jalannya proses belajar mengajar di lembaga pendidikan dan keberhasilan perkembangan anak dari segi fisik, psikis, sosial dan perubahan anak ke arah pendewasaan dengan menunjukkan kepribadian atau perilaku yang baik merupakan suatu hal yang juga harus diutamakan. Undang-Undang Perlindungan Anak membahas pentingnya pendidikan bagi anak sebagaimana yang terdapat pada pasal 48,[15] 49,[16] dan 50.[17] serta Undang-Undang Perlindungan Anak juga mengikat lembaga pendidikan dangan kata “kekerasan” sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 54 yang berbunyi: “Anak di dalam lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”[18] Menurut penulis kata kekerasan dalam pasal tersebut adalah tindak kekerasan yang seolah-olah direncanakan oleh setiap para praktisi pendidikan di sekolah, sebagaimana tindak kekerasan yang terjadi terhadap anak diluar sekolah, bahkan tindak kekerasan dalam pasal ini sering disamakan dengan proses pemberian hukuman terhadap anak, sehingga setiap guru yang menjatuhkan hukuman terhadap anak yang melakukan kesalahan terkesan menjadi tindak kekerasan. Hal ini jelas berbeda, karena sefaham penulis, tidak ada sebuah lembaga pendidikan pun yang punya perencanaan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap anak, walaupun metode pemberian hukuman terhadap anak tidak bisa dihilangkan di lembaga pendidikan, akan tetapi dua hal itu tetap tidak bisa selamanya disamakan.

Dengan demikian, jika semua kata hukuman disamakan dengan tindak kekerasan sehingga harus dihilangkan dalam mendidik anak, maka yang menjadi persoalan selanjutnya adalah; bagaimana pendidik mampu mengajarkan anak tentang cara menghormati hak orang lain, menghormati orang tua, menghormati nilai budaya bangsa, bertanggung jawab, mandiri, menghargai orang lain, sehingga mampu membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang salah agar anak mampu mengaplikasikan nilai-nilai moral, etika serta akhlak yang baik di dalam kehidupannya, jika anak tidak pernah dikontrol atau diarahkan sikap dan tingkah lakunya.

[1]“Perlindungan Anak” adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 13.

[2]Pasal 8 “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.” Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 17.

[3]Pasal 3 “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.” Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 16.

[4]Perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 58.

[5]Perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 58.

[6]Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 58.

[7]Perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zhalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 58.

[8]Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 58.

[9]Perlakuan ketidakadilam, misalnya tindakan keberpihakan anatar anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 58-59.

[10]Perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kapada anak. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 59.

[11]Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 18.

[12]Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 13.

[13]“ Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.” Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 19.

[14]Pasal 9, ayat 1 “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.” Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 17.

[15]“Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahu untuk semua anak.” Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 31.

[16]“Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. ” Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 31-32.

[17]“Pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 48 diarahkan pada: (a) pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal; (b) pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi; (c) pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbedadari peradaban sendiri; (d) persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan (e) pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.” Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 32.

[18]Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 33.